Sejarah Pilkada di Indonesia
Bertepatan dengan diadakannya Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada/Pilkada) Provinsi Nusa Tenggara Timur, maka untuk menyemarakannya saya bermaksud mengangkat sebuah postingan yang berhubungan dengan pesta demokrasi lima tahunan ini. Ya, provinsi di tenggara Indonesia ini akan melaksanakan pemilihan kepala daerah putaran ke-2 pada tanggal 23 mei 2013 hari ini. Namun tahukah anda tentang sejarah Pemilukada atau lebih kenal dengan sebutan Pilkada, di Indonesia? Berikut ulasannya yang saya kutip dari beberapa sumber, sebagai berikut:
Sejak masa pemerintahan kolonial sampai orde baru, kedaulatan rakyat
untuk memilih kepala daerah dikuasai oleh elit - elit politik karena
kepala daerah tidak dipilih langsung oleh rakyatnya. Sejarah demokrasi
di Indonesia mencatat kepemilihan kepala daerah terjadi mulai pada zaman
kolonial Belanda. Pemerintahan Hindia Belanda membuat undang - undang
pada tanggal 23 Juni 1903 yang dikenal dengan decentralisatie wet 1903.
Decentralisatie wet 1903 menyerahkan implementasi ketentuan - ketentuan
untuk pengaturannya lebih lanjut kepada pejabat yang berwenang membuat
ordonansi di Hindia Belanda. Dengan dasar ketentuan yuridis,
decentralisatie wet 1903, lahirlah koninklijk desluit tertanggal 20
Desember 1904 (dikenal dengan decentralisatie desluit 1904). Peraturan ini memberikan arahan pada upaya pembentukan Raden, Pemilihan
anggota Raad (dewan semacam DPRD) setempat, hak dan kewajiban anggota
dan ketua serta sekretarisnya serta kewenangan dan cara kerja badan itu.
Secara sederhana, pada zaman Hindia Belanda, pengaturan tentang
pemerintahan daerah dibedakan antara daerah Jawa dan Madura dengan
daaerah luar Jawa dan Madura.
Pemerintahan Pangrehpraja saat itu bersifat hierarkis dan sentralistis,
mulai dari gewest (propinsi) yang dipimpin gubernur, karesidenan yang
dipimpin residen; afdeling (asisten residen). Pada tingkat pamong praja,
terdapat kabupaten (bupati), district atau kawedanan (wedana) dan
onderdistrict atau kecamatan (camat).
Jabatan gubernur, residen, dan asisten residen dijabat oleh orang -
orang Belanda, sedangkan untuk jabatan lainnya dipegang oleh bangsa
Indonesia. Untuk semua jabatan tersebut, pemilihan kepala daerah
dilakukan dengan sistem penunjukan atau pengangkatan oleh penguasa
kolonial atau tepatnya gubernur jenderal, dengan kewajiban pribumi yang
menduduki jabatan memberikan kompensasi ekonomi (upeti). Pendudukan
Jepang di Indonesia memaklumatkan tiga undang - undang yang mengatur
tentang penyelengaraan pemerintahan yang disebut dengan 3 osamu sirei
(dalam bahasa Indonesia disebut oendang - oendang). Ketiga oendang -
oendang itu adalah oendang - oendang nomor 27 tentang perubahan
pemerintah (tertanggal 5 - 8 - 2602), oendang - oendang nomor 28 tentang
pemerintahan syuu (tertanggal 7 - 8 - 2602) dan oendang - oendang nomor
30 tentang mengubah nama negeri dan nama daerah (tertanggal 1- 9 -
2602).
Dalam tatanan pembagian daerah masa pendudukan Jepang yang termaktub
dalam undang - undang ini adalah keresidenan yang disebut syuu dan
residennya disebut syuutyoo. Setelah keresidenan terdapat dua pembagian
daerah yang disebut ken dan si. Kedua daerah itu dikepalai oleh pembesar
negara yang diberi nama Kentyoo dan Sityoo. Sementara itu, di tingkatan
kawedanan, keasistenan, dan desa dikenal dengan nama Gunson dan Ko,
sedangkan kepala daerahnya masing - masing disebut Guntyoo, Sontyoo dan
Kutyoo. Jabatan Guntyoo, Sontyoo dan Kutyoo dipegang oleh orang - orang
pribumi Indonesia, sementara itu jabatan lain diatasnya dijabat oleh
perwira - perwira Jepang. Seperti halnya pada masa kolonial Belanda,
pada era pendudukan Jepang sistem rekrutmen kepala daerah juga tidak
demokratis karena kepala daerah diangkat atau ditunjuk oleh penguasa
Jepang.
Setelah Indonesia merdeka, undang - undang yang menyinggung kedudukan
kepala daerah adalah undang - undang nomor 1 tahun 1945, tentang
peraturan mengenai kedudukan komite nasional daerah yang diundangkan
pada tanggal 23 November 1945. dalam undang - undang tersebut dinyatakan
bahwa kepala daerah menjalankan fungsi eksekutifnya sebagai pemimpin
komite nasional daerah, juga menjadi anggota dan ditetapkan sebagai
ketua legislatif dalam badan perwakilan daerah. Pada masa undang -undang
nomor 1 tahun 1945, kepala daerah yang diangkat adalah kepala daerah
pada masa sebelumnya, hal itu dilakukan karena situasi politik,
keamanan, dan hukum ketatanegaraan pada saat itu tidak baik.
UU nomor 1 tahun 1945 hanya berusia 3 tahun saja, karena pada tahun
1948, dibuatlah penggantinya yaitu UU nomor 22/1948 tentang pemerintahan
di daerah. Dalam undang - undang ini yang dimaksud pemerintahan daerah
adalah propinsi, kabupaten (kota besar), dan desa (kota kecil), nagari
atau marga. Pengaturan tentang kepala daerah dalam undang - undang ini
tertulis dalam pasal 18. dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa kepala
daerah propinsi (gubernur) diangkat oleh presiden dari calon yang
diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi. Untuk kepala
daerah kabupaten, diangkat oleh menteri dalam negeri dari calon yang
diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten. Demikian juga
untuk kepala daerah desa (kota kecil) yang diangkat oleh kepala daerah
propinsi dari calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Desa
(kota kecil).
Berubahnya konstitusi negara menjadi Republik Indonesia Serikat dan
ditetapkannnya Undang - Undang Sementara Tahun 1950 sebagai dasar negara
menyebabkan terjadinya perubahan pada undang - undang yang mengatur
tentang pemerintahan daerah, yaitu undang - undang nomor 1 tahun 1957.
didalam undang - undang ini, tingkatan - tingkatan daerah dibagi menjadi
tiga tingkatan, yaitu; daerah tingkat I dipimpin oleh gubernur, daerah
tingkat II dipimpin oleh bupati atau walikota dan daerah tingkat III
dipimpin oleh camat.
Kepala daerah adalah orang yang dikenal baik oleh rakyat di daerahnya,
oleh karena itu harus dipilih langsung oleh rakyat. Atas dasar itu,
dibandingkan dengan UU terdahulu dan bahkan setelahnya, nuansa demokrasi
dalam arti membuka akses rakyat berpartisipasi sangat tampak dalam
pilkada yang diatur UU No.1 tahun 1957. Dalam undang - undang ini,
sistem pemerintahan kepala daerah langsung telah dijabarkan namun dalam
prosesnya. Berdasarkan keterangan itu, sistem pilkada langsung dalam UU
nomor 1/1957 benar - benar merupakan introduksi dalam pentas politik
karena secara empirik belum dapat dilaksanakan.
Selain undang - undang, presiden pertama Republik Indonesia membuat
sebuah peraturan yang mengatur tentang pengangkatan kepala daerah.
Peraturan tersebut adalah Penetapan Presiden Nomor 6 tahun 1959 yang
mengatur tentang mekanisme dan prosedur pengangkatan kepala daerah. Oleh
karena itu undang - undang ini kelihatan lebih bersifat darurat dalam
rangka retooning sebagai tindak lanjut berlakunya kembali Undang -
Undang 1945. dalam undang - undang ini, kepala daerah diangkat dan
diberhentikan oleh presiden atau menteri dalam negeri. Pengangkatan
dilakukan terhadap salah seorang yang diajukan oleh DPRD. Peran DPRD
dalam perundangan ini terbatas, karena DPRD hanya berwenang mengajukan
calon kepala daerah.
Keluarnya Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 berdampak pada
keluarnya undang - undang nomor 18/1965 tentang pokok - pokok
pemerintahan daerah. dalam undang - undang nomor 18/1965, bertolak
belakang dengan undang - undang nomor 1/1957 karena perubahan format
pemerintahan negara sebagai implikasi perubahan konstitusi, sebelumnya
sistem federasi (Republik Indonesia Serikat) menjadi sistem kesatuan.
Dalam undang - undang ini, kepala daerah diangkat dan diberhentikan oleh
presiden atau menteri dalam negeri melalui calon - calon yang diajukan
oleh DPRD. Dengan demikian, kedudukan pejabat pusat atas kepala daerah
semakin kuat. Dominasi pemerintah pusat untuk mengendalikan daerah
semakin terlihat ketika kedudukan kepala daerah ditetapkan sebagai
pegawai negara, yang pengaturannya berdasarkan peraturan pemerintah. Seorang kepala daerah tidak dapat diberhentikan oleh suatu keputusan
dari DPRD, pemberhentian kepala daerah merupakan kewenangan penuh
presiden untuk gubernur dan menteri dalam negeri untuk bupati atau
walikota.
Pemerintahan Orde Baru menerbitkan undang - undang nomor 5 tahun 1974
tentang pokok - pokok pemerintahan di daerah. dengan berlandaskan pada
undang - undang 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen, kekuasaan
atau kewenangan daerah dibatasi dan dikontrol oleh rezim Soeharto
ketika itu, termasuk terhadap pemilihan kepala daerah. kepala daerah
diangkat oleh presiden dari calon yang memenuhi syarat, tata cara
seleksi calon yang dianggap patut diangkat oleh presiden dilakukan oleh
DPRD. Dengan demikian berarti kepala daerah bukanlah hasil pemilihan
dari DPRD, karena jumlah dukungan suara dalam pencalonan atau urutan
pencalonan tidak menghalangi presiden untuk mengangkat siapa saja
diantara para calon itu. Aturan tersebut terkait dengan kepentingan
pemerintah pusat untuk mendapatkan gubernur atau bupati yang mampu
bekerjasama dengan pemerintah pusat. Dalam beberapa kasus, kepala daerah
yang dipilih bukanlah pilihan nomor 1 yang diusulkan DPRD setempat.
Pada tahun 1985, kandidat nomor 1 gubernur Riau, Ismail Suko dikalahkan
oleh Imam Munandar yang merurpakan kandidat nomor 2. pada pemilihan
bupati Sukabumi, calon nomor 2 Ragam Santika juga akhirnya dipilih
sebagai bupati.
Seiring jatuhnya pemerintahan Soeharto, yang ingin mewujudkan suatu
tatanan Indonesia Baru maka ditetapkanlah undang - undang nomor 22 tahun
1999 tentang otonomi daerah pada tanggal 7 Mei 1999. undang - undang
ini menimbulkan perubahan pada penyelengaraan pemerintahan di daerah.
perubahannya tidak hanya mengenai penyelenggaraan pemerintahan daerah,
tetapi juga hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah. Sebelumnya
hubungan antara pemerintah pusat dan daerah bersifat sentralistis, namun
setelah undang - undang ini diberlakukan, hubungannya bersifat
desentralistis. Menurut undang - undang nomor 22 tahun 1999, pemerintah
dareah terdiri dari kepala daerah dan perangkat daerah lainnya, dimana
DPRD diluar pemerintah daerah yang berfungsi sebagai badan legislatif
pemerintah daerah untuk mengawasi jalannya pemerintahan.
Demikian juga dalam hal pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang pada
masa - masa sebelumnya sangat dicampur tangani oleh pemerintah. Undang -
undang nomor 22 tahun 1999 ini mengisyaratkan tentang pemilihan kepala
daerah yang dipilih oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. berbeda
dengan di masa - masa sebelumnya, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
hanya mengusulkan nama - nama calon kepala daerah dan kemudian kepala
daerah tersebut dipilih oleh presiden dari calon - calon tersebut. Dalam
sistem pemilihan kepala daerah, sesuai dengan undang - undang ini,
sistem rekrutmen kepala dareah yang terbuka serta demokratis juga
dibarengi dengan praktik politik uang. Hal ini sudah menjadi rahasia
umum, bahwa calon kepala dareah selalu mengobral uang untuk membeli
suara para anggota DPRD dalam pemilihan, serta untuk membiayai kelompok -
kelompok social dalam rangka menciptakan opini publik.
Undang - undang nomor 22 tahun 1999 memang disusun dalam tempo singkat
dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat luas. Karena itu, tidaklah
mengejutkan bila UU No. 22/1999 tidak sepenuhnya aspiratif sehingga
menimbulkan banyak kritik dan tuntutan revisi. Untuk menggantikan undang - undang nomor 2 tahun 1999, ditetapkanlah
undang - undang nomor 32 tahun 2004. Undang - undang ini mengatur
tentang pemilihan kepala daerah secara langsung, hal ini dibuktikan dari
240 pasal yang ada, sebanyak 63 pasal berbicara tentang pilkada
langsung. Tepatnya mulai pasal 56 hingga pasal 119, secara khusus
berbicara tentang pilkada langsung. Lahirnya undang - undang nomor 32
tahun 2004 tidak serta merta langsung menciptakan pilkada langsung,
namun harus melalui proses, yaitu dilakukannya judicial review atas
undang - undang tersebut, kemudian pemerintah menerbitkan peraturan
pemerintah pengganti undang - undang (perpu) No. 3/2005, yang pada
akhirnya juga berimplikasi pada perubahan PP No.6/2005 tentang pedoman
pelaksanaan pilkada langsung menjadi PP No.17/2005. Dengan demikian,
pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara langsung dimana calon
kontestannya adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik
atau gabungan partai politik yang memperoleh 15 persen kursi DPRD atau
dari akumulasi perolehan suara sah pada pemilihan legislatif sebelumnya.
Pemilu kepada daerah langsung sesuai dengan Undang - undang ini
terlaksana pertama kali pada tanggal 1 juni 2005.
Pemilihan kepala daerah langsung yang termaktub dalam undang - undang
nomor 32 tahun 2004 adalah sebuah proses demokratisasi di Indonesia.
Perjalanan pembelajaran demokrasi di Indonesia sebelum masa kemerdekaan
sampai dengan saat ini. Perjalanan demokrasi selanjutnya melahirkan
sistem yang baru, ketidakpuasan (kekurangan) undang - undang nomor 32
tahun 2004 mengenai otonomi daerah ini melahirkan sebuah konsepsi undang
- undang yang baru demi menciptakan sebuah tatanan yang lebih
demokratis lagi. Salah seorang Anggota DPRD kabupaten lombok yang
bernama Lalu Ranggawale mengajukan permohonan kepada Mahkamah
Konstitusi untuk melakukan uji materil pada UU No.32 tahun 2004.
akhirnya keluarlah Keputusan MK No 5/PUU-V/2007 yang menganulir UU
32/2004 pasal 56, 59 dan 60 tentang persyaratan pencalonan kepala daerah
memberikan peluang kepada calon independen untuk maju dalam Pilkada.
Revisi undang - undang nomor 32 tahun 2004 melahirkan undang - undang
nomor 12 tahun 2008. Undang - undang nomor 12 tahun 2008 ini tentang
perubahan terhadap undang - undang nomor 32 tahun 2004 mengenai
pelaksanaan otonomi daerah. Hal yang paling berbeda dari Undang - undang
ini mengenai pemilihan kepala daerah. dimana didalam undang undang
sebelumnya, kepala daerah dipilih langsung dari usulan partai politik
atau gabungan partai politik, sedangkan dalam Undang - undang ini,
pemilihan kepala daerah secara langsung dapat mencalonkan pasangan calon
tanpa didukung oleh partai politik, melainkan calon perseorangan yang
dicalonkan melalui dukungan dari masyarakat yang dibuktikan dengan
dukungan tertulis dan fotokopi KTP. Berdasarkan hal diatas, maka
peneliti merasa tertarik untuk meneliti tentang lahirnya konstitusi yang
mengatur tentang otonomi daerah terutama dalam hal pemilihan kepala
daerah.
Pada tanggal 19 April 2007 terbitlah Undang-undang No. 22 tahun 2007
tentang penyelenggaraan pemilihan umum. Di Undang - undang ini Pemilihan
kepala daerah dimasukkan pada rezim pemilu. maka kemudian masyarakat
mulai menenal pemilihan kepala daerah dengan sebutan PEMILUKADA.
Sumber: http://politik.kompasiana.com/2010/11/30/sejarah-pemilu-kepala-daerah-di-indonesia-322769.html
Sebelum tahun 2005, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pilkada. Pilkada pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005.
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara
Pemilihan Umum, pilkada dimasukkan dalam rezim pemilu, sehingga secara
resmi bernama Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pemilukada. Pemilihan kepala daerah pertama yang diselenggarakan berdasarkan undang-undang ini adalah Pilkada DKI Jakarta 2007.
Pada tahun 2011, terbit undang-undang baru mengenai penyelenggara
pemilihan umum yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011. Di dalam
undang-undang ini, istilah yang digunakan adalah Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Pilkada diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dengan diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota.
Khusus di Aceh, Pilkada diselenggarakan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) dengan diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Aceh (Panwaslih Aceh).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, peserta pilkada adalah
pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai
politik. Ketentuan ini diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
yang menyatakan bahwa peserta pilkada juga dapat berasal dari pasangan
calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Undang-undang ini
menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan beberapa pasal menyangkut peserta Pilkada dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Khusus di Aceh, peserta Pilkada juga dapat diusulkan oleh partai politik lokal
Berikut adalah foto-foto pasangan kandidat calon gubernur dan wakil gubernur yang bertarung pada putaran ke-2 Pilgub NTT 2013 ini.
Catatan Kaki:
Pemilukada adalah sebuah ajang untuk memilih pemimpin daerah. Mari kita gunakan suara kita sebaik-baiknya. Dengan memilih maka kita turut ambil bagian dalam proses berdemokrasi ini. Pilihan ada pada diri kita. Uang memang penting, namun suara hati adalah anugerah dari Yang Maha Kuasa. Mari hargai pemberian itu. Pililah menurut suara hati anda masing-masing. Mari katong pi coblos rame-rame... "Bae Sonde Bae Flobamora Lebe Bae".
0 comments: